Pada Rabu, 9 Juli 2025, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.D.V.E, Subsp.D.T, guru besar dan staf Departemen Dermatologi dan Venereologi (DV), menjadi salah satu pembicara dalam “International Leprosy Congress (ILC) 2025” yang berlangsung di Bali Nusa Dua Convention Center, tanggal 7-9 Juli 2025. Kongres ini mengangkat tema “Towards a World with Zero Leprosy” dan dihadiri oleh peneliti, pemimpin program, pembuat kebijakan, serta aktivis kesehatan dari berbagai negara.
ILC merupakan pertemuan ilmiah berskala global yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali dan menjadi wadah penting untuk berbagi pengetahuan dan bukti ilmiah terbaru dalam penanganan lepra. ILC 2025 diselenggarakan oleh Indonesian Society of Dermatology and Venereology (INSDV), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), Netherlands Leprosy Relief (NLR) Indonesia, dan Program Pengendalian Kusta Nasional Kementerian Kesehatan RI, di bawah naungan International Leprosy Association (ILA). Kongres ini berfokus pada inovasi diagnosis, pengobatan, strategi eliminasi, hingga upaya mengurangi stigma dan meningkatkan rehabilitasi bagi penyintas lepra. Acara ini juga menegaskan strategi World Health Organization (WHO) Global Leprosy Strategy 2021–2030 untuk mencapai “zero infection and disease” dengan prioritas menghentikan penularan dan mengeliminasi lepra sebagai penyakit yang menimbulkan kecacatan yang dapat dicegah. Rangkaian acara ini meliputi presentasi ilmiah, workshop, dan pameran teknologi medis terkini.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah kasus lepra terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Brasil. Penyebaran lepra di Indonesia bersifat tidak merata, dengan beberapa daerah masih berstatus endemik dan memiliki akses layanan kesehatan terbatas. Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan lepra adalah reaksi lepra, yaitu kondisi peradangan akut yang dapat terjadi sebelum, saat, atau setelah pengobatan lepra.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Hardyanto membawakan materi terkait pembaruan penatalaksanaan kasus reaksi lepra. Beliau turut menekankan pentingnya mengenali reaksi lepra sejak dini untuk mencegah kecacatan. Prof. Hardyanto juga menyoroti perlunya pemantauan ketat pasien dan penyesuaian terapi sesuai tingkat keparahan untuk memastikan hasil pengobatan yang optimal.
Kontribusi Prof. Hardyanto sebagai salah satu narasumber dalam kongres internasional ini menunjukkan komitmen Departemen Dermatologi dan Venereologi (DV) dalam mendukung upaya global mencapai zero leprosy, sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera), nomor 4 (Pendidikan Berkualitas), dan nomor 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).
Gambar 1. Staf Departemen DV, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.D.V.E, Subsp.D.T menjadi pembicara pada acara “International Leprosy Congress (ILC) 2025” di Nusa Dua, Bali.
Gambar 2. Tamu undangan pada acara “International Leprosy Congress (ILC) 2025” di Nusa Dua, Bali.
Keywords: SDG 3, SDG 4, SDG 17, Lepra
Penulis: Widya Khairunnisa Sarkowi